Author: Rizky
•06.12



Apakah seseorang harus serba bisa dan serba mahir segalanya agar bisa sukses dalam kehidupan ? Apakah ketidakbisaan pada satu hal akan langsung menutup rapat semua pintu kesempatan ?

Dulu saya selalu tertekan jika tidak bisa sesuatu, namun sekarang perasaan itu bisa diakomodir tanpa ada rasa luka dihati.

Saat SD, saya selalu tertekan jika ada permintaan untuk menyanyi diatas panggung atau didepan kelas. Selain saya tidak punya bakat menyanyi, entah mengapa saya selalu down kalau berdiri didepan orang banyak, apalagi jika berdiri diatas panggung.

Saat acara panggung hiburan kenaikan kelas sewaktu saya kelas 4 SD, saya ikut bermain dalam sebuah acara drama komedi. Drama tersebut menguras tawa penonton bukan karena kelucuan dialognya, melainkan karena saya salah tingkah diatas panggung. Baru saya naik saja penonton sudah tertawa terbahak-bahak. Lha, memangnya wajah saya wajah yang patut ditertawakan. Cukup ganteng kok, hihihi... Alhasil, drama tersebut jadi berantakan karena saya lupa total dialog yang sudah capek-capek saya hapalkan.

Sewaktu SMP, saya tertekan karena disaat teman-teman sudah bicara soal film-film di RCTI (waktu itu TV swasta pertama dan satu-satunya, baru beredar di Jakarta dan sekitarnya, mesti pakai antena khusus / decoder untuk menerimanya), saya hanya diam saja karena saya memang tidak punya TV yang bisa menangkap sinyal RCTI. Sedih amat ya :-). Disaat teman-teman bicara soal (itu nama Muhammad Rivai Andargini, Andargini-nya diambil dari Anderson, si Mac Gyver) atau Air Wolf atau Knight Rider, saya hanya asyik mendengarkan karena saya tidak punya bahan untuk diceritakan. Kadang saya mengungsi kerumah family yang memiliki TV yang dapat menangkap sinyal RCTI untuk menonton film favorit tersebut agar memiliki bahan untuk diceritakan.

Ketika SMP pula (saya bersekolah di SMPN 1 Tambun - Bekasi), guru fisika saya mengatakan sesuatu yang melukai hati saya dan membuat saya tidak respek padanya. Nama gurunya saya lupa, tapi orangnya tidak terlalu tinggi, kalau bertemu saya pasti ingat. Sewaktu dia mengajar, dia bercerita soal kabut didalam kulkas. Saya mendengarkan sambil mengangguk-angguk, ingat kulkas di rumah yang memang menghembuskan kabut dingin jika dibuka. Melihat saya mengangguk-angguk, dia berkata, "Vavai, memangnya kamu punya kulkas ?". Geeer, semua teman saya tertawa tapi saya tidak. Mungkin maksud sang guru sekedar bercanda tapi roman mukanya lebih kepada rasa sangsi bahwa saya punya kulkas. Ada kesan yang sulit ditepis bahwa dia menyepelekan saya...

Saya terluka saat itu, namun saya berketetapan dalam hati bahwa saya akan tunjukkan pada dia bahwa anggapan dia itu salah. Yang jelas, saya tidak pernah akrab pada dia, tidak seperti keakraban saya pada Pak Supringadi guru Bahasa Indonesia yang memberikan support pada saya saat saya menjadi pemred Mading atau Pak Yudhi Syafarman guru Bahasa Inggris (sepertinya ada suatu peristiwa terhadap Pak Yudhi beberapa waktu yang lalu) yang mempercayai saya dalam hal pelajaran bahasa Inggris.

Itu sudah masa lalu. Mungkin orang bisa bilang bahwa saya pendendam padahal memang :-D. Eh nggak ding. Saya tidak ingin menjadi pendendam. Kalaupun hati saya pernah terluka, itu adalah bagian dari upaya saya menjalani hidup dan belajar untuk dewasa :-).

Saat saya SMA, saya menjadi minder kala teman-teman kelas saya asyik dengan dunia band. Rasanya menjadi orang paling kuper sedunia karena saya tidak berbakat pada musik. Saya senang dengan piano atau organ dan pernah beberapa kali menggunakannya tapi kesukaan saya justru bukan itu. Saya lebih suka mata pelajaran eksakta, komputer dan sejenisnya.

Dari sekian pengalaman, satu hal yang menolong saya untuk tetap berdiri dengan kepala tegak adalah sisi akademis saya. Meski tidak selalu rangking 1, saya tidak pernah lewat dari 5 besar dari SD hingga SMA. Sewaktu SMP saya tidak pernah lewat dari posisi 1-2-3 dan sewaktu SMA saya malah sempat menjadi juara umum kedua untuk kelas IPA (Fisika / A1). Juara umum kedua di kelas Fisika ini membanggakan karena sama artinya menjadi juara 1 dikelas lain :-).

Selepas SMA dan sering main keberbagai tempat (Hiking), barulah saya menyadari bahwa orang tidak perlu menjadi bunglon untuk bisa sukses dan untuk bisa berhasil. Ada orang yang dilahirkan dengan berbagai kelebihan tapi itu tidak menjaminkeberhasilan dalam hidup. Ada orang yang biasa-biasa saja tapi disukai banyak orang dan hidupnya tidak pernah kesusahan.

Jika ada orang yang pandai bermain musik, itulah kelebihan dia. Kita tidak perlu jumpalitan memaksakan diri untuk bisa semahir mereka dalam bermain musik. Jika ada rekan yang pandai dalam olah raga, itulah kelebihan dia dan kita tidak perlu iri pada kelebihan tersebut.

Semua orang pasti punya kelebihan, tinggal dia tahu atau tidak dan menyadari atau tidak kelebihannya itu.

Jika sewaktu SD saya sering gemetar diatas panggung atau bicara dihadapan orang banyak, sekarang saya bisa dengan leluasa menjadi pembicara dalam seminar. Ya memang seminar kecil-kecilan yang dihadiri 100-an orang tapi ini cukup melegakan saya jika saya ingat kekhawatiran saya saat masih kecil. Saya juga tidak minder lagi karena saya yakin saya punya kemampuan dan tidak semua orang memilikinya (kemampuan supra natural kali, hehehe...)

Jangan pernah minder dan jangan putus asa.
Author: Rizky
•05.28